2014
Hotsuma-Tsutae adalah sebuah puisi epik lebih dari 10,000 baris yang ditulis Yamato-Kotoba, salah satu sastra kuno Jepang.
Puisi ini menceritakan kisah para Dewa yang mendiami Jepang selama
periode Jomon Akhir, Yayoi, dan Kofun Awal, zaman yang membentang lebih
dari seribu tahun sejak abad ke-8 SM sampai abad ke-3 Masehi.
Beberapa sarjanawan berpendapat bahwa puisi Hotsuma-Tsutae mungkin
telah ditulis pada periode Edo, hal ini disebabkan dugaan bahwa teks
ditulis dalam alfabet asli Jepang. Sementara dikalangan akademisi
menolak pendapat bahwa sistem tulis menulis di Jepang sebelum adanya
penggunaan karakter Cina, teori lain menyatakan bahwa teks itu palsu, tidak ada kesimpulan pasti tentang sastra kuno Jepang, puisi Hotsuma-Tsutae.
Puisi ini berisi tentang Dewa dan raja-raja Zaman Kepahlawanan sebagai
individu yang nyata di Jepang, dan pandangan dunia paralel tentang
ajaran esoterik sekte Budha pada abad pertengahan. Puisi Hotsuma-Tsutae
juga berisi risalah panjang tentang asal-usul bahasa Jepang serta teori
materi Alkimia, diet vegetarian untuk membersihkan jiwa dan
memperpanjang kehidupan.
Misteri Sepuluh Ribu Baris Puisi Hotsuma-Tsutae
Kushimikatama, penulis puisi Hotsuma-Tsutae, dia seorang menteri pada
masa pemerintahan Kaisar Jimmu dan Ohotataneko yang hidup di
pemerintahan Kaisar Keiko. Kushimikatama menulis dua jilid pertama, Kitab Surga dan Kitab Bumi. Kemudian Ohotataneko mengedit sastra kuno Jepang tersebut dan menambahkan volume ketiga, Kitab Manusia.
Puisi Hotsuma-Tsutae telah diadaptasi kedalam bahasa Jepang kontemporer
oleh Seiji Takabatake dan bahasa Inggris oleh Andrew Driver. Terjemahan
Hotsuma-Tsutae kata demi kata, begitu banyak sastra asli diselimuti
misteri alegori kuno dan ritual. Banyak unsur kosakata tidak memiliki
kesamaan dalam bahasa modern sastra 'asing' masih diperdebatkan. Seiji
Takabatake, Presiden Japan Translation Centre di Tokyo, terlibat
langsung dalam penelitian puisi Hotsuma-Tsutae selama lebih dari 30
tahun. Dia terus berhubungan dekat dengan Yoshinosuke Matsumoto, seorang
yang bertanggung jawab dalam mengupas misteri puisi Hotsuma-Tsutae
setelah ditemukan pada tahun 1966.
Beberapa sejarawan menyatakan bahwa sastra kuno Hotsuma-Tsutae sudah ada
jauh sebelum adanya mitologi Jepang. Naskah pertama yang dikenal
didedikasikan Waniko Yasutoshi untuk sebuah kuil (juga dikenal sebagai
Yunoshin Ibo) pada 1775. Beberapa kutipan yang diterbitkan dan
diterjemahkan kedalam bahasa Jepang modern tahun 1884, Naskah Yasutoshi
ini hampir hilang, tapi ditemukan kembali pada tahun 1993 setelah
penerbitan beberapa buku populer pada pertengahan abad ke-20 oleh
Yoshinosuke Matsumoto.
Seiring berjalannya waktu, masing-masing 40 Aya (bab) Hotsuma-Tsutae
mendapatkan kata yang pantas (arti bahasa yang sesuai) dalam bahasa
Jepang dan Inggris. Kesamaan kosakata atau bahasa ini mungkin tidak
muncul dalam urutan yang sama seperti aslinya, tapi tujuannya untuk
menempatkan pengertian yang sesuai dengan isi puisi Hotsuma-Tsutae.
Awa-no-Uta, Naskah Kitab Surga
Awa-no-Uta adalah lagu yang dimulai dengan huruf 'a' dan berakhir dengan
'wa'. Huruf ini ini ada dalam setiap karakter naskah 48 Hotsuma-Tsutae
dan muncul pada bab pertama Kitab Surga.
Pada masa pemerintahan Omotaru (pria) dan Kashikone (wanita), generasi penguasa ke-6, kedua pemimpin melintasi seluruh negeri dan bekerja keras untuk mengembangkan pertanian. Makanan yang berlimpah, orang-orang hidup dengan baik, bangsa diatur baik dan damai. Tapi, Omotaru dan Kashikone tidak diberkati ahli waris dan setelah kematian mereka negara memasuki pelanggaran hukum dan gangguan.
Kemudian pangeran Takahito dan putri Isako, di bawah perintah Takamagahara (Dataran Tinggi Surgawi) menikah di istana Isa (Tsukuba) dan mengambil kendali pemerintahan sebagai Isanagi dan Isanami, generasi penguasa ke-7. Mereka menghidupkan kembali produktivitas pertanian di pusat Dataran Tanah Merah (Ashihara Nakakuni, kini Shiga) menggunakan tombak ilahi yang diwarisi dari nenek moyang mereka sebagai simbol otoritas. Pada saat yang sama, mereka mulai membuat standardisasi bahasa nasional yang terpolarisasi dalam dialek yang hampir tidak dimengerti.
Untuk menciptakan tujuan ini, mereka mempekerjakan bentuk lagu yang
disebut Awa-no-Uta. Bernyanyi dalam harmoni dengan iringan alat musik,
Isanagi akan melagukan 24 suara tinggi dan Isanami 24 suara rendah.
Dengan cara ini, mereka mencoba untuk membakukan jumlah suara kedalam
bahasa dan sama-sama berupaya mengembangkan pertanian, hal ini membantu
membawa bangsa kembali berpijak pada kakinya.
Kitab Ramalan, Hotsuma Futomani
Toyoke, penguasa provinsi utara merayakan hari Dewa yg mengawasi kuil
terluar Ise, menyusun grafik menggunakan 51 simbol fonetik untuk
mewakili 49 Dewa yang berada di langit. Dia memberikan semua ini kepada
putrinya Isanami dan suaminya Isanagi, kedelapan garis penguasa ilahi
Jepang.
Amateru, putra Isanagi dan Isanami, memiliki bangsawan yang menulis
puisi berdasarkan bagan Toyoke. Dia memilih 128 yang kemudian ditetapkan
sebagai Kitab Ramalan Futomani (ramalan ritual Shinto).
Simbol A-U-WA dalam lingkaran mewakili Amemiwoya, pencipta langit dan bumi. Amemiwoya (Dewa Leluhur Surgawi).
TO-HO-KA-MI-YE-HI-TA-ME dibagian cincin pertama merupakan delapan dewa yang menciptakan jiwa manusia, dihubungkan kedalam bentuk fisik dan mengatur rentang kehidupan manusia. Amoto (Dewa Asal Surgawi).
A-I-HU-HE-MO-WO-SU-SI di bagian cincin kedua merupakan Dewa yang mengatur arah mata angin, bahasa, dan organ tubuh manusia. Anami (Dewa Keseimbangan Surgawi).
Tiga puluh dua simbol dalam dua cincin luar mengatur bentuk fisik luar manusia dan melindungi siang dan malam. Dewa Misofu (Tiga Puluh Dua Dewa).
Teks Hotsuma-Tsutae yang diterjemahkan Yamato-Kotoba membahas tentang
kelahiran, kehidupan, dan kematian 'Kami' dari kuil kuno Jepang dan
sejarah. Dalam hal ini, kata 'Kami' yang digunakan ditujukan kepada
sesuatu seperti bangsawan, bukan Dewa. Dalam sastra kuno Jepang,
Amaterasu (matahari 'Kami' Shinto) adalah laki-laki dan bukan perempuan
seperti yang tertulis dalam catatan sejarah resmi. Menurut Matsumoto,
Amaterasu feminin dalam Kojiki dan Nihon Shoki untuk memberikan
pembenaran pemerintahan Ratu Suiko, seorang Ratu yang memerintah
sebelum sastra kuno Jepang itu ditulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar