2014
Tim ilmuwan yang terdiri dari kolaborasi antara Universitas Oxford dan
Lausanne Museum of Zoology akan menggunakan teknik genetik terbaru untuk
menyelidiki sisa-sisa organik pada beberapa bukti telah diklaim
peninggalan sejenis Orang Pendek Sumatera (Yeti, Migoi, Bigfoot, Sasquatch, almasty dan spesies hominid lainnya).
Proyek Hominid ini mengundang lembaga dan individu yang memiliki koleksi
bahan cryptozoological, atau mencari hewan yang keberadaannya tidak
terbukti, yang meminta mereka untuk mengirimkan rincian sampel yang
dimiliki. Sampel itu bisa berupa rambut untuk analisis genetik, hasilnya
kemudian akan diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the Royal Society
B.
Analisis DNA Bigfoot, Yeti, Orang Pendek Sumatera
Sejak tahun 1951, ekspedisi Eric Shipton di Everest mengambil foto-foto
jejak kaki raksasa di salju. Spekulasi bermunculan menyatakan bahwa
Himalaya mungkin menjadi rumah makhluk besar yang tidak dikenal ilmu
pengetahuan. Sejak saat itu telah banyak laporan saksi mata yang melihat
keberadaan makhluk tersebut dari beberapa daerah terpencil di dunia.
Dalam berbagai nama, mereka dikenal sebagai Yeti atau Migoi di Himalaya, Bigfoot atau Sasquatch di Amerika, Almasty di pegunungan Kaukasus dan Orang Pendek di Sumatera.
Menurut Profesor Bryan Sykes, teori untuk mengidentifikasi spesies Orang Pendek Sumatera, bigfoot, Yeti, umumnya
bervariasi, mulai dari dugaan spesies hominid yang masih hidup, seperti
Homo Neanderthalensis atau Homo Floresiensis, primata besar seperti
Gigantopithecus secara luas sudah dianggap punah, spesies primata yang
belum wajar atau subspesies lokal beruang hitam dan coklat.
Menurut ilmuwan, mereka tetap yakin dengan laporan itu baik melalui
kurangnya bukti untuk diuji dan ruang lingkup klaim dianggap palsu. Akan
tetapi kemajuan terbaru dalam teknik analisis genetik dari sisa-sisa
organik saat ini mampu menyediakan mekanisme untuk menganalisis genus
dan spesies, bukti genetik jelas dan lebih menjamin. Setidaknya,
sebanyak 57 sampel rambut telah diterima dan dianalisa makroskopik,
pemeriksaan inframerah fluoresensi, untuk menghilangkan materi
non-rambut, dan 30 sampel dijelaskan telah mengalami analisis DNA.
Tak satu pun sampel primata cocok dengan sampel rambut manusia, sebagian besar berasal dari mamalia yang masih ada, dan yang lainnya mirip dengan beruang, tapir, sapi dan kuda. Dua sampel Himalaya, satu dari Ladakh-India, yang lainnya dari Bhutan, yang paling cocok bukan spesies yang masih ada tetapi urutan fosil yang diperoleh dari beruang kutub Pleistosen (Ursus Maritimus).
Beruang kutub tidak pernah ditemukan di Dataran Tinggi Tibet, Prof Sykes
berspekulasi bahwa dua sampel mungkin berasal dari beruang prasejarah
yang tidak diketahui atau mungkin dari hibrida antara Ursus Maritimus
dan beruang coklat (Ursus arctos).
Teknik ini belum tersedia ketika ahli biologi seperti Dr Bernard
Heuvelmans pada tahun 1955 menerbutkan buku Sur la Piste des betes
Ignorees (On the Track of Unknown Animals) yang berguna untuk membantu
menumbuhkan minat masyarakat luas dalam pengamatan subjekBigfoot, Yeti, Orang Pendek Sumatera,
dan lainnya. Antara tahun 1950 dan 2001, untuk terakhir kalinya Dr
Heuvelmans menyelidiki berbagai klaim guna mengumpulkan arsip yang cukup
besar, saat ini berada di kurator Museum of Zoology di Lausanne, Swiss.
Menurut Profesor Sykes, ada kemungkinan bahwa pemeriksaan ilmiah pada
spesimen ini telah diabaikan, bisa memberi petunjuk lebih banyak tentang
bagaimana Neanderthal dan Hominid awal berinteraksi
dan menyebar ke seluruh dunia yang saat ini mungkin dikenal dengan nama
Orang Pendek Sumatera, Bigfoot, Yeti, dan lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar